|BRASNEWS.NET|
Penulis: Team.
Bitung, Sulawesi Utara — Perlakuan yang diterima kapal nelayan KM. Sopi-01 di bawah komando Kapten Yubar Bakhtiar, warga Kelurahan Sari Kelapa, Bitung Timur, menimbulkan pertanyaan serius terhadap profesionalitas dan integritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dengan alasan pelanggaran zona tangkap, kapal ini ditahan selama dua bulan di Pelabuhan KKP, meskipun bukti kronologis menunjukkan kapal berada dalam keadaan darurat akibat kerusakan mesin di laut.
Insiden bermula ketika KM. Sopi-01 mengalami mati mesin hanya beberapa mil dari daratan. Kapten mengutus anak buah kapal (ABK) menggunakan pakura untuk membeli suku cadang. Namun, arus laut yang kuat menyeret kapal melintasi batas zona 715 menuju zona 716 (Sangihe) tanpa adanya niat atau tindakan penangkapan ikan di wilayah tersebut. Fakta ini menguatkan bahwa kejadian tersebut murni bersifat darurat.
Alih-alih mendapatkan bantuan penyelamatan sebagaimana prinsip kemanusiaan dan standar penegakan hukum maritim, kapal justru dipaksa mengikuti kapal pengawas laut dan digiring ke dermaga KKP. Penahanan selama dua bulan dilakukan tanpa penjelasan hukum yang eksplisit mengenai urgensi dan dasar peraturan untuk kondisi darurat.
Pertanyaan pun mengemuka: adakah regulasi yang secara sah mewajibkan penahanan selama berbulan-bulan terhadap kapal yang mengalami keadaan darurat? Jika tidak, maka tindakan ini berpotensi menjadi bentuk pelanggaran hak konstitusional nelayan.
Setelah KKP menerbitkan Surat Peringatan Pertama (SP-1) untuk pembebasan, pihak kapal mendapati barang-barang vital hilang. Di antaranya
- parasut.
- lampu sorot
- radio besar
- aki.
- empat tabung gas LPG 12 kg.
- gurinda tangan.
- 400 liter solar.
Kerugian materiil ditaksir mencapai Rp50 juta. Padahal dermaga KKP dijaga ketat selama 24 jam dan dilengkapi CCTV. Namun, pihak KKP beralasan kamera pengawas sedang rusak—alasan yang menimbulkan keraguan publik.
Lebih jauh, Kapten Yubar mengungkap bahwa pihaknya sempat diminta membayar uang tebusan sebesar Rp11 juta. Saat memohon keringanan, jumlah tersebut justru membengkak menjadi Rp50 juta. Namun, kapal akhirnya dilepaskan tanpa pembayaran sepeser pun, meninggalkan dugaan kuat adanya prosedur yang tidak konsisten.
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Menahan kapal nelayan dalam kondisi darurat tanpa dasar yang jelas adalah bentuk perampasan hak hidup, sekaligus pengingkaran terhadap amanat konstitusi.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Menyamakan nelayan dalam kondisi darurat dengan pelaku ilegal fishing yang sengaja melanggar berarti hukum diterapkan secara membabi buta.
Kasus KM. Sopi-01 bukanlah perkara tunggal. Ia adalah preseden yang, bila dibiarkan, akan mengancam rasa aman seluruh nelayan Indonesia. Kejadian ini mempertegas perlunya pembeda yang jelas antara pelanggaran terencana dan insiden darurat di laut.
Atas dasar itu, empat tuntutan diajukan: pertama, pemeriksaan terbuka terhadap oknum KKP yang terlibat; kedua, pengembalian kerugian materiil akibat kehilangan barang; ketiga, revisi aturan yang memidanakan nelayan dalam keadaan darurat; dan keempat, pengawasan independen di dermaga KKP, termasuk audit terhadap fungsi CCTV dan sistem keamanan.
Nelayan adalah penjaga kedaulatan pangan laut, bukan musuh negara. Memperlakukan mereka bak kriminal di saat mereka berjuang untuk hidup adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemerdekaan.
Kapten Yubar Bakhtiar dan pemilik kapal kini hanya menuntut keadilan—bukan perlakuan istimewa. Di negeri maritim ini, keadilan seharusnya menjadi hak mutlak warga negara, bukan kemewahan yang hanya bisa diimpikan.