BITUNG — Brasnews.net – Dalam dunia jurnalistik, verifikasi adalah nadi, dan netralitas adalah jantung. Namun keduanya tampaknya diabaikan dalam laporan bertajuk “Kapolres Bitung Sibuk Jaga Ketahanan Pangan Nasional, Kapolsek Maesa Sibuk Bagikan Uang Koordinasi Pasir Ilegal” yang diterbitkan oleh Inanews.co.id kemarin dan berita saat ini yang dimuat oleh JurnalHimpasus.com. Tulisan itu menyeret nama Kapolsek Maesa, ke dalam pusaran tuduhan tanpa mengedepankan prinsip dasar jurnalistik: klarifikasi berimbang, pembuktian faktual, dan pemisahan antara opini dan berita.
Celah Pertama: Framing Tendensius, Tanpa Klarifikasi Kontekstual
Judul yang digunakan jelas mengedepankan frasa framing emosional yang mengarahkan persepsi pembaca sebelum mereka memahami konteks. Dalam kaidah hard news, pemilihan judul harus mencerminkan substansi secara proporsional, bukan provokatif. Frasa “sibuk membagikan uang koordinasi” digunakan tanpa klarifikasi bahwa dana tersebut diberikan dalam kerangka “kemitraan media”—sebuah praktik umum dalam pengelolaan komunikasi antara instansi publik dan insan pers
Tanpa mengutip regulasi resmi atau internal guideline POLRI yang menyatakan hal itu sebagai pelanggaran, berita ini langsung melompat pada konklusi pidana. Ini adalah bentuk dari “conclusion-driven reporting”, yang menyimpang dari etika jurnalistik internasional.
Celah Kedua: Kutipan WhatsApp yang Tidak Lengkap dan Tanpa Verifikasi Otentik
JurnalHimpasus mencantumkan tangkapan pesan singkat yang diduga berasal dari Kapolsek Maesa, tanpa adanya verifikasi digital, penegasan keaslian, atau konteks percakapan. Dalam jurnalistik profesional, cuplikan komunikasi pribadi hanya bisa dijadikan bahan berita apabila telah diverifikasi melalui metode triangulasi sumber, audit forensik digital, atau pengakuan resmi tertulis dari pihak yang dikutip.
Tidak adanya penjelasan metode verifikasi pesan WhatsApp tersebut menjadikan berita ini rawan gugatan hukum atas dasar penyebaran informasi tanpa kejelasan asal-usul (originless quote).
Celah Ketiga: Sumber Tunggal Anonim dan Tidak Terstandarisasi
Berita menggunakan narasumber anonim yang mengaku sebagai wartawan, namun tidak menyertakan lembaga tempatnya bekerja, tanggal kejadian, dokumentasi penyerahan uang, atau minimal consent statement yang dapat dibuktikan. Hal ini melanggar prinsip attribution responsibility dalam Associated Press Stylebook, yang menyatakan bahwa anonymous quote must be corroborated dan disampaikan dalam konteks yang bisa dipertanggungjawabkan.
Tanpa bukti pendukung atau pernyataan tertulis dari institusi media yang disebut menerima “uang koordinasi”, kutipan tersebut hanya memperkuat kesan bahwa artikel ini adalah bentuk advokasi opini yang dibungkus sebagai “berita investigatif”.
Celah Keempat: Tidak Menyebutkan Sumber Resmi atau Pemeriksaan Internal
Dalam setiap pemberitaan yang menyinggung aparat penegak hukum, sudah menjadi standar minimal bagi redaksi untuk mengonfirmasi kepada humas polda sulut/humas Polres Bitung. sesuai dengan prinsip jurnalistik yaitu cover both sides. Fakta bahwa laporan ini tidak mengutip satu pun pernyataan resmi dari lembaga pengawas, justru mengindikasikan bahwa berita ini tidak dibangun di atas niat untuk mencari kebenaran, melainkan menyebar persepsi.
Kesimpulan: Kredibilitas Tidak Dapat Berdiri di Atas Retorika dan Tuduhan Kosong
Kapolsek Maesa, dalam setiap kesempatan telah membuka ruang konfirmasi kepada pihak media. Namun pemberitaan yang beredar justru mengambil jalur searah, mempublikasikan kesimpulan, dan menyalurkan opini dengan gaya bahasa yang menyerupai editorial. Ini adalah bentuk penyimpangan terhadap prinsip balanced journalism, yang dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber Dewan Pers, menyebut sebagai pelanggaran terhadap asas keberimbangan dan itikad baik.
Jurnalisme sejati tidak lahir dari amplifikasi isu dan praktik cherry–picking, melainkan dari ketelitian, kejujuran dalam menggali fakta, serta tanggung jawab menyampaikan informasi yang utuh sesuai dengan prinsip jurnalistik yaitu cover both sides. Jika jurnalisme hanya dijadikan senjata untuk framing dan intimidasi, maka publik tidak sedang disuguhi berita—melainkan propaganda personal bermodus pemberitaan.
Penutup: Etika Tidak Bisa Digasak oleh Jumlah Klik
Tuduhan boleh lahir, tetapi kebenaran hanya bisa dibangun dengan fakta. Kapolsek maesa, sebagaimana setiap warga negara, berhak atas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan proses klarifikasi yang adil. Bila etika jurnalistik terus dikalahkan oleh sensasi, maka sesungguhnya bukan institusi negara yang tercoreng, melainkan profesi wartawan itu sendiri.