Oleh : Chaidir Toweren
Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas usia seorang Capres/Cawapres 40 Tahun atau sudah pernah berpengalaman menjadi kepala daerah, dan akhirnya seorang Gibran Rakabuming Raka di lamar oleh Prabowo menjadi Cawapres, berbagai penafsiran politik mulai di perbincangkan, baik di sosmed. Media online, cetak maupun elektronik.
Bahkan media asing pun tidak mau ketinggalan ikut menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, tentang perubahan syarat calon wakil Presiden yang bisa membuat atau yang meloloskan Gibran Rakabuming menjadi Cawapres pada Pilpres 2024 mendatang.
Mulailah istilah ; Politik dinasti, Mahkamah Keluarga, Presiden 3 Periode, dan bla. Bla, bla lainnya.
Atau ada yang menduga-duga bahwa jangan-jangan, gonjang-ganjing ini hanya sebuah drama atau saya mengambil istilah mas Suparman salah seorang editor media online Rakyat Merdeka “Bertanding untuk Bersanding”, pura-pura bertarung seserius mungkin dan pada akhirnya nanti kembali bersatu.
Rakyat Indonesia gampang terbuai sandiwara, seakan-akan siapa yang terzalimi untuk yang pantas atau patut di bantu. Sejarah mencatat, pemilu secara langsung pertama sekali diadakan pada tahun 2004 dimenangkan oleh SBY 60,62%.
Ketika itu SBY dianggap salah satu menteri yang dizalimi oleh Presiden Megawati dan berhasil mengalahkan Megawati pada putaran kedua pemilihan Presiden.
Anies Baswedan ketika itu banyak yang tak menduga, Anies menjadi bagian dari tim pemenangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014, dan akhirnya diberhentikan dari posisi menteri oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Dan kembali dengan predikat seorang yang terzalimi.
Berkat predikat tersebut Anies menang pada Pilkada DKI Jakarta dengan melawan rival terberatnya pada putaran kedua Calon Gubernur sekaligus petahana Ahok.
Hari ini, drama tersebut seolah-olah sedang bergulir, banyak elite politik baik yang ada di tubuh PDI Perjuangan, dari pengiat politik bahkan dari partai oposisi sedang rebut-ribut mempermasalahkan terkait pencapresan Gibran.
Dengan berbagai ragam istilah pembangkang, dinasti, terlalu muda dan berbagai istilah lainnya.
Dan sampai hari ini status Gibran juga sebagai kader PDI Perjuangan juga masih simpang siur, sebagian petinggi mengatakan sudah dipecat, tetapi Gibran sendiri mengatakan sebelum mengambil keputusan menerima tawaran untuk menjadi Cawapres, mas Gibran sudah menemui mbak Puan, yang notabenenya juga salah seorang petinggi di partai berlambang kepala Banteng tersebut dan masyarakat Indonesia juga mengetahui kalau mbak Puan selain petinggi Partai PDI Perjuangan ia nya juga merupakan putri Ibu Megawati Soekarnoputri.
Atau isu terus hanya sekedar di hembuskan sementara status kader Gibran sebagai kader PDI Perjuangan masih abu-abu, lalu kemudian sengaja dibiarkan bertarung pada Pilpres 2024 melawan dari partainya sendiri ?
hal ini akan menjadi cerita yang menarik ditunggu oleh Rakyat Indonesia.
Atau, Gibran dipecat secara resmi sebagai kader PDI Perjuangan, dan Gibran juga akan mendapat predikat “Yang Terzalimi” ?
Karena dalam kisah penuh gejolak dan rumit, tokoh dan parpol punya potensi untuk dipersepsikan sebagai korban yang “dizalimi”.
Untuk itu, saya berpikir stop lah dalam hal ini, semua calon baik capres dan Cawapres adalah putra-putra terbaik bangsa, bahkan presiden Republik Indonesia pun tak terlepas dari bola panas perseteruan terkait majunya putra beliau sebagai salah satu Cawapres pada Pemilu mendatang.
Karena masyarakat banyak membuat asumsi terkait rebut-ribut Gibran maju sebagai salah satu kandidat Cawapres. Bahkan adapula yang menyebutkan itu semua hanya drama politik, pemanis sebuah sandiwara toh pada akhirnya semua akan baik-baik saja.
Jangan sampai rakyat menjadi korban, karena bisa saja dilevel tertentu telah terjadi kesepakatan bersama, akan damai tentram atau bisa saja saling menjagokan. Kita tak ingin rakyat terlanjur habis-habisan dan akan terjadi polarisasi. Ini yang perlu dimitigasi.
Rakyat hanya membutuhkan ekonomi stabil, lapangan pekerjaan dan aman. Impian yang sederhana tetapi terlalu sulit untuk dijabarkan. Kita berharap pemilu Damai, no intrik, jauhkan hoaks, buang pembullyan. Rakyat sudah cerdas, siapa yang pantas untuk dipilih pada pilihan mendatang.
Aceh 30 Oktober 2023